Beranda | Artikel
TAFSIRAN KALIMAT TAUHID
Rabu, 7 Januari 2009

Pahit tapi Nyata
Syaikh al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “…Sungguh mengherankan ada orang yang mengaku beragama Islam sementara dia sendiri tidak mengetahui tafsir kalimat ini, padahal orang-orang kafir yang bodoh saja mengetahuinya. Bahkan (lebih parah lagi) dia menyangka bahwa syahadat itu cukup dengan mengucapkan kata-kata saja tanpa keyakinan hati tentang kandungan maknanya. Orang yang cerdik diantara mereka bahkan ada yang mengira maknanya (kalimat tauhid) adalah : tiada yang mencipta, memberi rezki kecuali Allah, tiada yang mengatur segala urusan kecuali Allah. Oleh karenanya tidak terdapat kebaikan sama sekali pada diri seseorang yang orang-orang bodoh dari kaum kafir saja lebih paham darinya tentang kandungan makna la ilaha illallah” (Kasyfu Syubuhaat, dinukil dari at-Taudhihaat al-Kaasyifaat ‘ala Kasyfi Syubuhaat, Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Habdaan hal. 101)

al-Qur’an menjelaskan maksud kalimat tauhid
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Allah bersaksi bahwa tiada ilah kecuali Dia…” (QS. Ali Imran : 18). Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri berkata : ‘artinya tiada yang berhak disembah di langit maupun di bumi kecuali Allah Tabaraka wa ta’ala.’ (Aisar at-Tafasir, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan : ‘Ayat yang mulia ini mengandung penetapan hakikat tauhid dan terdapat bantahan bagi semua kelompok yang sesat…’ (Syarh ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 90)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada sesembahan kecuali Allah…” (QS. Muhammad : 19). Imam ath-Thabari rahimahullah menafsirkan : ‘Wahai Muhammad, ketahuilah..bahwa tiada suatu sesembahan pun yang pantas dipuja dan mendapatkan persembahan ibadah darimu dan dari seluruh makhluk kecuali Allah; Dzat Yang Menciptakan semua makhluk dan menguasai segala sesuatu..’ (Tafsir ath-Thabari, Maktabah Syamilah). Syaikh Abu Bakar al-Jaza’iri mengatakan : ‘Maka ketahuilah bahwa tidak ada yang berhak menerima ubudiyah kecuali Allah. Oleh sebab itu sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.’ (Aisar at-Tafasir, Maktabah Syamilah)

Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah mengatakan : ‘Makna syahadat adalah tiada sesembahan yang benar kecuali Allah. La ilaha menegaskan penolakan terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah. Sedangkan illallah menegaskan bahwa ibadah hanya layak ditujukan kepada Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah kepada-Nya, sebagaimana tidak ada yang menjadi sekutu bagi-Nya dalam urusan kekuasaan-Nya.’ (Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 71)

Makna ‘ilah’
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa kata ilah semakna dengan kata ma’luh. Sedangkan makna kata ta’alluh semakna dengan makna kata ta’abbud (penyembahan atau pemujaan) (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 71). al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : ‘Ilah adalah segala sesuatu yang ditaati dan tidak didurhakai yang hal itu muncul karena rasa penghormatan dan pengagungan kepadanya, yang dilandasi rasa cinta dan kekhawatiran, diiringi dengan harapan dan ketergantungan hati kepadanya, permohonan dan doa kepada-Nya. Dan hal itu semua tidaklah pantas kecuali diserahkan kepada Allah ‘azza wa jalla…’ (dinukil dari Hushul al-Ma’mul, hal. 111)

Di dalam Kamus disebutkan bahwa ilah adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai sesembahan. Apabila diungkapkan dalam bentuk jamak/plural maka disebut ‘alihah’ (sesembahan-sesembahan) (lihat al-Mu’jam al-Wasith, I/25). Makna ini semakin jelas apabila kita cermati ayat yang mulia berikut ini. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Sesungguhnya mereka dahulu apabila diserukan kepada mereka : la ilaha illallah, maka mereka justru menyombongkan diri. Dan mereka mengatakan : ‘Akankah kami tinggalkan alihah (sesembahan-sesembahan) kami hanya karena mengikuti ajakan penyair gila.” (QS. ash-Shaffaat : 35-36)

Dengan demikian kata ilah itu semakna dengan ma’bud/sesembahan. Karena secara bahasa kata ‘alaha’ sinonim dari kata ‘abada (menyembah) (silakan periksa dalam Kamus al-Mu’jam al-Wasith, I/25)

Ilah bermakna ‘ma’luh’ bukan ‘alih’
Pembaca mungkin bertanya-tanya tentang judul ini. Apa maksudnya ? Saudaraku, semoga Allah menganugerahkan taufik-Nya kepada aku dan kamu. Ketahuilah, bahwa dalam menafsirkan kalimat la ilaha illallah telah terjadi perselisihan antara ulama Salaf dengan kalangan Mutakallimin (ahli filsafat), Asya’irah dan Mu’tazilah.

Syaikh Shalih Alusy-Syaikh memaparkan: ‘Sesungguhnya kaum Mutakallimin, Asya’irah dan Mu’tazilah serta orang-orang yang mewarisi ilmu bangsa Yunani memiliki pendapat bahwa kata ‘ilah’ di situ bermakna fa’il (sejenis pelaku). Memang, dalam bahasa Arab kata yang mengikuti pola ‘fi’al’ (seperti halnya ‘ilah’) terkadang bermakna fa’il (alih mengikuti pola fa’il) dan terkadang bermakna maf’ul (sehingga artinya menjadi ‘ma’luh’/yang disembah). Nah, dari celah itulah mereka mengatakan bahwa kata ‘ilah’ bermakna ‘alih’. Sedangkan kata ‘alih’ itu berarti Yang Berkuasa (al-Qaadir). Oleh sebab itulah mereka menafsirkan kata ilah sebagai al-Qadir ‘alal ikhtiraa’ (Dzat Yang Berkuasa menciptakan). Ini bisa kalian jumpai dalam buku-buku Aqidah kaum Asya’irah, sebagaimana tercantum dalam buku Syarh ‘Aqidah Sanusiyah yang mereka namai dengan istilah Ummul Barahin. Di dalamnya dinyatakan bahwa kata ‘ilah’ artinya Dzat Yang Maha tidak membutuhkan segala sesuatu, Dzat yang dibutuhkan oleh segala sesuatu selain diri-Nya. Sehingga dia mengatakan : la ilaha illallah artinya; Tidak ada Dzat yang Maha Kaya dan menjadi sumber terpenuhinya kebutuhan segala sesuatu kecuali Allah. Ini artinya mereka telah menafsirkan tauhid uluhiyah dengan makna tauhid rububiyah…’ (lihat at-Tam-hid, hal. 75-76)

Makna yang benar
Dengan penjelasan di atas maka jelaslah bagi kita bahwa makna la ilaha illallah adalah tiada sesembahan yang benar kecuali Allah. Atau dalam bahasa Arabnya dikatakan ‘la ma’buda bihaqqin illallah’ atau ‘la ma’buda haqqun illallah’. Sehingga ilah sama artinya dengan ma’bud yaitu sesembahan. Artinya segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Adapun selain Allah, apabila mendapatkan peribadahan maka peribadahan tersebut adalah peribadahan yang batil (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 71)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Yang demikian itu karena Allah adalah yang Haq sedangkan segala sesuatu yang diseru/disembah selain-Nya itulah yang Batil.” (QS. al-Hajj : 62). Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ‘yang Haq’ di dalam ayat ini dengan : ‘Ilah yang Haq, dimana ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada diri-Nya’ (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah). Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri mengatakan : ‘yang Haq’ artinya ilah/sesembahan yang benar dan wajib disembah tanpa menyertakan selain diri-Nya.’ (Aisar at-Tafasir, Maktabah Syamilah)

Satu hal lagi, menafsirkan la ilaha illallah dengan la ma’buda haqqun illallah bukanlah takwil yang tercela. Hal ini dikarenakan dalam bahasa Arab suatu kata atau ungkapan bisa saja dibuang dari pembicaraan karena faktor-faktor tertentu yang membolehkannya. Sehingga menyebutkan kata bihaqqin atau haq sesudah kata ilah atau ma’bud adalah bukanlah takwil. Buktinya, di dalam kitab-kitab Ilmu Kaidah Bahasa Arab (Nahwu) anda bisa menemukan penafsiran semacam ini.

Contohnya di dalam kitab Mu’jam Mufashshal fil I’rab disebutkan bahwa kata ‘ilah’ adalah isim ‘la’ (sebuah jabatan kata dalam I’rab) yang mempunyai khabar (kata lain yang menyempurnakan maknanya) yang dihapus. Sesuatu yang dihapus itu adalah kata ‘maujud’ (yang ada). Sehingga ungkapan la ilaha illallah bila disebutkan secara lengkap maka bunyinya la ilaha maujud illallah. Artinya tidak ada ilah yang benar-benar ada kecuali Allah. (lihat Mu’jam al-Mufashshal, hal. 374)

Meskipun demikian, penentuan makna [predikat kalimat] yang dihapus di sini dengan kata ‘maujud’ adalah sebuah kekeliruan. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan : ‘Khabarnya dihapus. Apabila yang dihapus itu dimunculkan maka kalimatnya menjadi ‘la ilaha haqqun illallah’ artinya tiada sesembahan yang benar kecuali Allah.’ Dan beliau menyalahkan orang yang menyebutkan kata ‘maujud’ sebagai pelengkap kalimat tersebut sehingga menelorkan pemaknaan la ilaha illallah menjadi la ilaha maujudun illallah sebagaimana dikatakan oleh penyusun Mu’jam Mufashshal di atas. Beliau mengomentari pemaknaan mereka itu dengan mengatakan, ‘Ini adalah kekeliruan yang sangat besar’ (lihat at-Ta’liqaat al-Jaliyah, hal. 682)

Mengapa penyebutan kata ‘maujud’ itu disebut sebagai kekeliruan ? Sebab itu berarti meniadakan adanya sesembahan-sesembahan lain yang memang ada pada alam kenyataan. Bahkan dari ungkapan semacam itu bisa jadi orang akan menyimpulkan benarnya ajaran wahdatul wujud. Sebab apabila dikatakan tiada sesembahan di alam nyata selain Allah maka itu artinya segala yang disembah di alam nyata ini adalah Allah. Dan hal itu jelas merupakan kekeliruan yang sangat besar. (lihat at-Ta’liqaat al-Jaliyah, hal. 682). Oleh karena itu sungguh indah ungkapan sebagian ulama yang menafsirkan la ilaha illallah ini dengan kalimat ‘la ilaha haqqun fil wujud illallah’ : tiada ilah yang benar di alam nyata ini kecuali Allah.

Maksud Kalimat Tauhid
Dengan penjelasan terdahulu maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kandungan syahadat la ilaha illallah adalah perintah untuk bertauhid uluhiyah. Syaikh Shalih bin Fauzan mengatakan : ‘Makna la ilaha illallah adalah tauhid uluhiyah, bukan tauhid rububiyah. Sebab seandainya maknanya adalah memang sekedar tauhid rububiyah maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu mengatakan kepada kaum musyrikin : ‘Ucapkanlah la ilaha illallah.’ Padahal mereka mengakui bahwa Allah lah al-Khaliq (pencipta), Pemberi rezki, Yang menghidupkan dan mematikan, dan dalam kondisi mereka yang semacam itu beliau justru hanya menuntut sesuatu yang sudah ada pada diri mereka bahkan memerangi mereka gara-gara sesuatu yang sudah mereka kenal dan mereka akui. Pendapat ini jelas keliru.’ (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhat, hal. 43)

Ruh Kalimat Tauhid
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Ruh dan rahasia yang tersimpan di dalam kalimat tauhid adalah : mengesakan Allah Rabb jalla tsanaa’uhu wa taqaddasat asmaa’uhu wa tabaarokasmuhu wa ta’aala jadduhu wa laa ilaaha ghairuhu dalam hal kecintaan, pemuliaan, pengagungan, rasa takut, rasa harap serta perkara yang lainnya yang mengikutinya yaitu tawakal, inabah, raghbah, rahbah. Oleh sebab itu tidak ada yang dicintai dengan sebenarnya kecuali Dia. Segala sesuatu yang dicintai selain-Nya hanyalah dicintai karena kecintaan kepada-Nya atau karena ia menjadi perantara untuk meningkatkan cinta kepada-Nya. Dan tidak ada yang ditakuti selain-Nya. Tidak diharap kecuali Dia. Tidak bertawakal kecuali kepada-Nya. Tidaklah berharap kecuali kepada-Nya. Tidak merasa khawatir kecuali kepada ancaman-Nya. Tidaklah bersumpah kecuali dengan nama-Nya. Tidak bernadzar kecuali untuk-Nya. Tidak bertaubat kecuali kepada-Nya. Tidaklah dipatuhi kecuali perintah-Nya. Tidak mengharapkan pahala kecuali kepada-Nya. Tidaklah diminta pertolongan di kala sempit kecuali Dia. Tidak dikembalikan urusan kecuali kepada-Nya. Tidak bersujud kecuali kepada-Nya. Tidak disembelih kecuali untuk-Nya dan dengan menyebut nama-Nya. Seluruh makna itu telah terpadu dalam sebuah kalimat yaitu ‘tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia dengan segala bentuk ibadah yang ada’. Inilah perealisasian makna syahadat la ilaha illallah. …” (ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, 221)


Artikel asli: http://abumushlih.com/tafsiran-kalimat-tauhid.html/